Pagi yang tenang di Jalan Seruni II mengantarkanku dalam skenario petualangan baru. Aku terbangun ketika
alarm di handphone sudah berdering lebih dari dua kali. Setelah mengambil air wudhu lalu sholat shubuh, aku bergegas mengemasi barang-barang yang akan dibawa selama menikmati kota Semarang tiga hari kedepan. Satu potong celana jeans, jaket coklat dengan kerah yang sudah belel, satu potong kaos polo t-shirt dan kopiah secara serabutan aku masukkan kedalam ransel. Dua buku yang baru saja kubeli hari sebelumnya tak lupa juga aku jejalkan, Max Havelaar-nya Multatuli dan Catatan Seorang Demonstan-nya Soe Hok Gie berbaris rapi seakan turut bersemangat untuk dapat segera sampai di Semarang. Memang ini adalah pengalaman pertamaku untuk menikmati kota Semarang, destinasi yang sebetulnya tidak diduga-duga karena rencana yang terbilang dadakan setelah mendapat kabar dari kawan SMA yang akan singgah di Semarang usai nyantri di salah satu pondok pesantren di Jepara.
Aku meninggalkan kamar yang masih dalam kondisi berantakan, dan memang jarang sekali terlihat rapi. Laptop berdebu teronggok diatas meja kerja ditemani dengan sajadah yang terlipat, buku gambar yang juga terlipat, satu bungkus kopi arabica yang sudah habis setengahnya dan gelas kosong dengan kopi yang sudah mengering didasarnya. Usai memastikan pintu kamar terkunci, aku turun ke lantai bawah bersamaan dengan ibu kost yang hendak membuka gerbang. Sempat ada percakapan dengan nada heran “pagi-pagi sudah mau berangkat, mau kemana Mas?” ibu kost bertanya dengan raut muka yang masih menyimpan kantuk dan rambut acak-acakan. “Saya mau ke Semarang, bu.. mau main ke tempat teman.. pamit nggih bu..” secara tidak
sadar aku mulai menggunakan kata-kata dalam bahasa jawa ketika berkomunikasi sehari-hari selama di Solo.
Jalan Seruni II sudah ramai dengan ayam-ayam yang berkeliaran di sekitar rumah pak RT, sementara burung-burung kenari yang terkurung sarang mulai banyak yang saling bersahutan. Solo pada pukul 6 pagi memang sudah jauh lebih hidup, karena di sini langit sudah mulai terang sejak pukul 5 pagi. Suasana rumah pak RT
nampak sepi, meskipun pintu depan sudah terbuka lebar. Beberapa kursi berbaris saling berhadapan sisa pertemuan semalam. Pakaian-pakaian yang masih basah menggantung berdempetan menunggu belaian sinar matahari.
Baca lebih lanjut →