Resonansi

Aku menikmati hujan sore ini dari lantai dua rumah dimana aku tinggal. Kursi-kursi sofa tersusun rapi meskipun hanya satu yang berpenghuni. Seseorang sudah menyalakan lampu yang berada persis di atas tangga menuju lantai dua. Tirai plastik berwarna-warni menghalangi cipratan air dari luar sana.

Adzan ashar baru saja terdengar dari Masjid Al-Amien yang berada persis di samping rumah. Dengan suara yang khas, entah bapak siapa namanya, lantunan adzan mengalir melalui udara yang terhambat oleh hujan yang turun semakin deras.

Seperti ada suara yang memanggil-manggil diluar sana, dari manakah suara itu? Apakah datang bersamaan dengan hujan yang turun dari atas sana? Suara itu datang seperti dari seseorang dimasa lalu.

Hujan selalu saja mampu untuk meresonansikan kenangan.

Sudah enam belas hari aku berada di Surakarta tanpa sedikitpun tahu apa yang sebenarnya sedang kucari. Mendadak masa depan terlihat begitu muram seperti awan tebal yang menggantung di atas langit sore Surakarta sore ini. Ada sejenak kemewahan dari segelas kopi arabica yang sedang kunikmati. Tapi itu saja sepertinya tidak cukup untuk menenangkan suasana. Aku butuh sesuatu, atau mungkin sebetulnya aku butuh seseorang?

Di luar sana pohon-pohon pinus tertiup angin, mereka menikmati belaian dingin dari Sang Pencipta. Lihatlah! Seperti seorang ibu yang sedang meninabobokan anak kesayangannya. Bergoyang kekiri dan kekanan dalam gerak lambat namun pasti. Mungkin mereka sudah tertidur lelap sekarang, bersama dengan hujan sebagai selimutnya.

Memori yang berputar dalam otakku seringkali bertubrukan. Urusan pekerjaan dua minggu terakhir ini cukup melelahkan. Manfred mengulangi lagi kesalahannya, satu sifat buruk yang sudah membuatnya kehilangan dan juga mungkin dibenci oleh orang-orang yang pernah bekerjasama dengannya, terutama dengan teman-temanku di DeTecSolutions.

Kemampuan manajerialnya sungguh buruk untuk orang yang sudah banyak malang melintang dalam dunia bisnis. Aku pikir masih lebih baik Mang Dimin, bapak tua yang sudah belasan tahun menjadi penjual bubur ayam di kampungku di Kuningan sana. Manfred seolah tidak peduli dengan elemen-elemen penting yang bisa meruntuhkan ataupun sebaliknya bisnis yang saat ini (dan sudah lama) dia jalani.

Bekerjasama dengannya membuat mimpi-mimpiku hitam putih. Aku merasakan kejayaan dalam momen-momen singkat, namun tak lama kemudian ombak besar memporak-porandakan kapal dimana aku menjadi nahkodanya. Aku akan mulai menjulukinya, mulai detik ini dengan sebutan “Mr. The Days After Tomorrow” atas janji-janji manisnya yang tak tentu arah tujuan.

I can feel something big is coming to my life. Entah kenapa seperti ada babak baru dalam hidupku yang baru saja akan dimulai dalam hitungan waktu yang tidak lama lagi. Sesuatu yang besar, sesuatu yang baik, yang erat kaitannya dengan masa depan karirku. Tapi entah itu apa, aku tak tahu pasti karena semuanya masih sebatas misteri, dan satu-satunya jalan untuk mencari tahu adalah dengan mengalaminya.

Aku percaya pada takdirku yang didalamnya akan ada banyak kejutan-kejutan menyenangkan. Aku hidup mandiri sejak beberapa tahun yang lalu, dan dalam hitungan periode yang sama, aku tidak hanya menjadi seorang Teguh yang pendiam tapi aku juga menjelma menjadi seorang Teguh dalam sosok seorang tulang punggung keluarga.

Aku katakan ini memang berat, dan bukanlah tanggung jawab kecil ketika didalamnya mengatasnamakan keluarga. Aku tidak hanya menyambung hidupku seorang diri, tapi juga hidup ketiga adikku dan kedua orang tuaku. Bapak sudah lama aku lepaskan dari kewajibannya menafkahi istri dan anak-anaknya. Sehingga secara tidak langsung, aku tidak hanya menanggung biaya hidup mereka, segala urusan mulai dari hal-hal yang sifatnya remeh-temeh sampai dengan urusan-urusan njlimet selalu melibatkan aku sebagai orang yang bertanggung jawab untuknya.

Kuabdikan hidupku untuk setiap butir nasi yang menjadi makanan keluargaku, untuk setiap tetes minyak goreng, setiap potong tempe, setiap ekor ikan bandeng dalam wajan, untuk setiap rupiah uang yang harus dibayarkan untuk biaya kuliah, sekolah, tas, sepatu, baju, seragam, berobat ke dokter dan juga kacamata. Hidupku sungguh untuk mereka, sampai-sampai aku ragu untuk apa yang akan tersisa kelak dalam masa tuaku, kalau pun Tuhan kemudian menakdirkanku untuk mencapai usia tua.

Menikah masih sangat jauh dalam bayangan masa depanku. Entahlah, mungkin takdir menginginkanku untuk hidup seorang diri. Banyak dari teman-temanku yang sudah berkeluarga, beberapa dari mereka bahkan ada yang sudah dikaruniai tiga orang anak. Dan jujur kukatakan ada sedikit rasa iriku disana.

Ketika sedang berada di Kuningan, aku selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke tempat Ade, teman baikku. Suatu hari, aku terdiam melihat gerak lincah Agna anak laki-laki Ade yang baru saja genap berumur satu tahun beberapa minggu sebelumnya. Senyum tulus dari bibir mungilnya selalu mampu untuk mengoyak hatiku sampai pada bagian yang terdalam. Namun alih-alih merasakan sakit, justru rasa nyamanlah yang kurasakan. Sesekali aku menggendong Agna dalam pelukanku, dan si ganteng cilik itu tetap berwajah riang menampilkan barisan gigi yang mulai tumbuh. Aku suka mengajaknya untuk berdiri di tepian kolam ikan persis di halaman depan rumah, membiarkan mata mungilnya kesana kemari mengikuti gerakan ikan yang lincah. Lalu perlahan tangannya mulai melambai-lambai seperti menyuruh ikan di bawah sana untuk mendekat dan kemudian Agna akan tertawa kegirangan. Anak kecil terkadang memang aneh, mereka tertawa untuk sebab yang kurang dapat dipahami oleh orang dewasa. Beberapa menit saja di tepian kolam, tubuh mungilnya pasti sudah menggeliat untuk minta turun, kalau sudah begini, aku biasanya mengalihkan Agna ke gendongan ayahnya, lalu kami bertiga masuk kembali ke rumah untuk menikmati sisa teh manis yang sudah mulai dingin dengan toples-toples kue yang masih terbuka.

Pernikahan seperti sesuatu yang entah kenapa begitu asing dalam hidupku, seolah-olah tidak ada ruang tersisa diantara bilik-bilik neuron dalam otakku untuk memikirkannya. Seperti kabut di lereng gunung, terlihat dari kejauhan dan mengantarkan hawa dingin tapi tidak dapat disentuh. Menepuk asap sama saja seperti bertepuk dengan sebelah tangan, tidak ada yang didapat.

Di luar sana hujan sudah berganti menjadi gerimis tipis. Kaca tidak lagi menampilkan aliran air yang deras, hanya titik-titik air yang perlahan akan menguap terbawa oleh angin sore. Masih ada satu cerita yang belum kusampaikan, maukah kau untuk sejenak mendengarkannya? Sesuatu itu berasal dari bagian masa lalu yang sepertinya takkan pernah menjadi bagian dari masa depanku, entah esok, lusa atau kapanpun.

Ingatan tentang Conni selalu datang dalam waktu yang tak pernah kuduga. Memori tentangnya seperti hantaman badai ketika kapal yang kunahkodai berlayar dalam arus air yang tenang. Tapi kemudian aku menari dalam badai itu, aku berdansa seorang diri dalam gerakan yang pernah Esther ajarkan pada malam pertama bulan Juni beberapa tahun yang lalu.

Aku terlempar dari singgasanaku, kapalku oleng tak tentu arah dengan layar yang masih terkembang, tapi masih mampu untuk bertahan. Tanganku menggapai-gapai mencari pertolongan, tapi kemudian aku tersadar bahwa aku berlayar seorang diri. Awak kapalku singgal di pelabuhan terakhir, dan kini mereka sedang menikmati ikan tenggiri bakar dan juga cumi-cumi yang dimasak dengan kuah santan dan banyak rempah-rempah.

Air mendadak menjadi lebih tenang, dan desau angin tiba-tiba saja menghilang. Satu dua detik aku seperti hilang kesadaran, lalu kemudian aku melihat bagian bawah kapal. Aku tenggelam!!!

Suaraku tercekat oleh air yang masuk kedalam tenggorokan. Dalam keheningan aku melihat seberkas sinar hijau yang seolah-olah berkata “Ikutlah denganku, akan kutunjukkan padamu rahasia-rahasia yang membebani pikiranmu”. Suaranya terdengar seperti seseorang yang pernah menikmati hujan bersama. Lalu perlahan sinar hijau itu merambat membalut seluruh tubuhku. Seperti ada kehangatan tangan seorang ibu ketika perlahan sinar itu merambat dari jari-jemari sampai sempurna menyelimuti tubuhku. Satu sinar terang menyilaukan tiba-tiba saja datang, memaksa mataku untuk terpejam. Lalu ciuman lembut dibibir itu datang sembari berkata “Aku berikan nafas padamu, diamlah lalu aku akan bercerita”. Ajaib! Nafasku seperti berhenti tercekat, aku dapat bernafas dalam air meski sejauh mata memandang hanya sinar hijau yang dapat kulihat. Entah apa yang terjadi dengan kapalku di atas sana, layarnya mungkin saja sudah robek, dan tiang-tiang dengan kayu terbaik itu patah menimpa dan memporak-porandakan sebagian geladak.

“Bersamamu aku merasa nyaman”, suara itu mulai bercerita dalam tutur kata yang halus. Aku hanya bisa terdiam mendengarkan, lalu cerita dilanjutkan.

“Sejarah sudah berbicara banyak hal tentang kisah-kisah orang yang patah hati, betapa waktu menggerus begitu kejam membiarkan kisah-kisah itu terus menerus berulang. Bukahkah memang demikian ketika kita berbicara tentang cinta?” Suara itu bertanya, atau lebih kepada memberi penjelasan?

“Aku disini untuk menyampaikan dan membenarkan, bahwa suatu konsep cinta tidak selamanya berakhir manis seperti dongeng-dongeng tentang putri dan pangeran dalam cerita-cerita pengantar tidur. Sejarah memang akan selalu berulang meski dengan pelakon yang berbeda-beda, dan itu berarti tidak hanya sejarah tentang pesta perayaan penuh kemenangan, tetapi juga sejarah tentang awan mendung kekalahan. Kau mengerti maksudku?” Suara itu bertanya, aku terpaksa hanya bergerak perlahan menganggukkan kepala.

“Kita tidak ditakdirkan sebagai sepasang putri dan pangeran yang kelak akan memerintah kerajaan dengan kekayaan melimpah dan hati penduduknya yang penuh dengan derma. Kita tidak pula ditakdirkan seperti dalam kisah-kisah cinta manis yang terukir dalam kitab-kitab purba. Aku tidak bisa menjadi ladang tempatmu menanamkan benih-benih yang nanti mungkin akan menumbuhkan buah-buahan beraneka ragam, juga bunga-bunga chrysanthemum dan dandelion yang bergoyang ditiup angin sore. Bukan karena ladangku tak subur, bukan pula karena benih-benih yang akan kau tanam berkualitas buruk. Aku katakan dengan penuh kejujuran bahwa ada benih-benih diluar sana yang sudah mengucap janji. Ketika hujan pertama yang mungkin akan turun pada pertengahan November, benih-benih itu akan mulai ditanam di atas ladangku. Dan kamu tahu, aku selalu setia memenuhi janjiku sampai hujan pertama nanti menyentuh tanah. Aku berharap ketika waktu itu tiba, kau sudah menemukan ladang baru untuk menanamkan benih-benihmu, aku dapat membayangkan bahwa pastilah ladang itu sangat subur, dan tidak hanya bunga-bunga chrysanthemum dan dandelion, tetapi juga mawar yang berwarna-warni dan bunga lili. Mungkinkah akan ada anggrek berwarna ungu juga disana?” Suara itu bertanya dengan nada setengah tercekat, seperti pertanyaan yang belum usai.

Aku terdiam sejenak, perasaan aneh menyelimuti hatiku dan aku siap untuk berteriak lantang bahwa hanya ladangnyalah satu-satunya tempat dimana aku ingin menanamkan benih-benihku. Tetapi baru saja aku hendak membuka mulut, Conni datang menghampiriku yang berdiri mengambang di kedalaman laut seperti sebuah hologram berwarna hijau. Dia memakai kacamata. Kehadirannya membuat suaraku tertahan. Perlahan dia mendekatiku, meraih kedua tanganku kemudian mengecup pipiku. Sorot matanya menyampaikan salam perpisahan.

Sinar hijau itu perlahan memudar, laut di atas sana mendadak tenang dan matahari perlahan mengantarkan sinarnya menembus lautan. Suara itu pun turut hilang dan perlahan tubuhku terangkat ke permukaan.

Tinggalkan komentar