Barisan Pantai Kebumen

Sore sudah menyapa ketika aku dan Andri beranjak dari rumah yang aku tempati selama di Kebumen tak jauh dari Rumah Sakit Purbowangi, Gombong. Truk-truk besar masih banyak yang melewati jalur lintas selatan yang menghubungkan antara Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purworejo dan terus ke timur menuju Jogja. Mobil-mobil yang melintas masih banyak didominasi oleh kendaraan pribadi dan truk-truk ukuran besar yang membawa banyak muatan. Sesekali bus-bus melintas dengan kecepatan tinggi, sedikit miring ketika melewati jembatan tepat sebelum belokan menuju rumah Andri, jalan yang sama yang bisa dilalui untuk sampai ke Waduk Sempor, sebuah bendungan raksasa yang menjadi penyuplai air bagi pertanian warga di sekelilingnya.

Tujuan kami adalah Pantai Logending, sekitar 58 km dari Kota Kebumen, atau sekitar 26 km dari Gombong. Pantai Logending menyimpang mitos yang erat kaitannya dengan Nyi Roro Kidul, legenda ratu pantai selatan. Konon di Pantai Logending terdapat batu karang yang menjadi pintu gerbang Nyi Roro Kidul. Pantai Logending berada pada sisi selatan pulau jawa, sehingga dari sini dapat terlihat jelas pemandangan yang langsung menuju laut lepas Samudera Hindia. Dari Gombong, kami menggunakan sepeda motor menyusuri Jalan Raya Gombong yang menghubungkan Gombong dengan Kabupaten Cilacap. Melewati Rumah Sakit Purbowangi dan terus ke arah barat dan kemudian berbelok kiri tak jauh dari jembatan, melintasi Jalan Raya Gombong-Jatijajar.

Pantai Logending berada di Kecamatan Ayah sehingga kadang disebut dengan Pantai Ayah. Di Kecamatan Ayah masih ada banyak pantai lain yang lokasinya berdekatan, biasanya hanya dipisahkan oleh bukit-bukit yang cukup curam dengan hutan jati yang rimbun. Dibutuhkan waktu kurang lebih 40 menit untuk sampai di Pantai Logending, pemandangan selama perjalanan didominasi dengan bukit-bukit yang terlihat seperti punuk-punuk unta dan hamparan sawah yang luas membentang.

Hamparan sawah dan bukit sepanjang perjalanan

Hamparan sawah dan bukit sepanjang perjalanan

Pantai Logending merupakan lokasi dari bermuaranya Sungai Bodo, sungai yang memisahkan antara Kabupaten Kebumen dan Cilacap. Sehingga sesaat sebelum sampai di tepian pantai, pemandangan akan menyuguhkan aliran air sungai yang bertemu dengan tepian pantai yang menjadi bagian dari Samudera Hindia. Matahari akan beranjak turun ketika aku sampai di tepian Pantai Logending, sinar keemasan menerpa barisan tenda-tenda lapuk yang banyak bagiannya robek oleh kencangnya angin pantai. Karena berkunjung bukan saat musim liburan, aku hanya disuguhi dengan pantai yang sepi, beberapa perahu nelayan yang bersandar, orang-orang yang dari kejauhan nampak sedang berbincang dengan ditemani kopi hitam dan barisan warung-warung kosong yang menyisakan beberapa sampah plastik berserakan.

Kami memutuskan untuk mengunjungi dua pantai sekaligus. Pantai Menganti yang lokasinya tidak begitu jauh menjadi tujuan berikutnya. Pantai Menganti masih berada di barisan Pantai Ayah. Lokasinya berada di Desa Karangduwur yang berasal dari kata “karang” dan “duwur”. Karang bisa berarti tanah dan duwur dalam bahasa jawa berarti tinggi. Dibutuhkan perjuangan dan kehati-hatian untuk dapat mencapai Pantai Menganti. Pantai ini dapat dicapai dengan waktu tempuh sekitar satu setengah jam dari Gombong, kurang lebih 35 km. Atau sekitar 11 km jika ditempuh dari Pantai Logending. Jalanan yang dilewati didominasi dengan bukit-bukit dengan jalanan berkelok dan curam, rimbunnya hutan jati menambah nuansa seram apalagi jika dilewati pada sore atau malam hari. Mengantuk sedikit bisa-bisa terlempar ketepian jurang sedalam puluhan meter.

Lain dengan Pantai Logending yang memiliki mitos sebagai Pintu Gerbang Nyi Roro Kidul, Pantai Menganti memiliki mitos lain. Konon dahulu kala ada seorang panglima perang Kerajaan Majapahit yang melarikan diri ke arah pantai selatan karena hubungannya dengan kekasihnya tidak disetujui oleh orang tuanya. Sang panglima dan kekasihnya kemudian mengucap janji, untuk bertemu ditepian Samudera Hindia berpasir putih. Dalam penantian Sang Panglima terus menuggu sang kekasih dari atas bukit kapur namun sang kekasih tak kunjung datang. Berbeda dengan Pantai Logending yang memiliki pasir coklat kehitaman, pasir yang berada di Pantai Menganti adalah pasir putih.

Setelah kurang lebih tiga puluh menit melewati jalanan curam dengan kelokan tajam dan rimbunnya hutan jati, pemandangan pertama yang disuguhkan adalah Samudera Hindia yang terlihat dari atas bukit. Jalanan beraspal kasar harus dilewati dengan kemiringan yang cukup curam untuk sampai ke tepian pantai yang berada di bawah. Perahu-perahu nelayan yang berbaris rapi menjadi pemandangan dari atas bukit. Beberapa perahu nelayan tersebar lebih menjorok ketengah lautan. Angin laut menghempas wajah sesaat ketika menginjakkan kaki ditepian pantai berpasir putih. Aku melihat kesibukan yang tidak biasa, bau-bau bangkai ikan dan ubur-ubur menyengat menusuk-nusuk hidung. Matahari sebentar lagi turun ketika aku baru saja bermain dengan gulungan ombak yang semakin sore semakin deras karena laut pasang. Semburat kemerahan menjalar langit sore, hawa mistis aku rasakan ketika mendengar deburan ombak yang menghantam perahu-perahu nelayan yang berjuang ketengah lautan dengan mesin diesel yang menderu kencang. Selain menara mercusuar dan Tanjung Karangbata yang berada di timur tenggara, Pantai Menganti juga memiliki tebing pantai raksasa yang tinggi di bagian barat yang biasa disebut dengan Tebing Bidadari.

Ada banyak hewan yang mirip dengan siput tanpa cangkang, umang dan bulu babi ketika aku bermain ditepian pantai dengan karang yang diselimuti oleh lumut hijau. Aku hampir menyentuh hewan yang sempat kukira sebagai tentakel dari gurita yang kadang bersembunyi diantara karang. Namun ternyata tentakelnya keras, tidak seperti gurita yang memiliki tentakel yang lengket. Ada banyak ban bekas yang disusun rapi di tepian pantai, terikat dengan tali-tali tambang dengan bagian tengah ditutup semen sebagai tempat parkir untuk perahu-perahu nelayan. Tempat Pelelangan Ikan yang berada tak jauh dari tepian pantai sudah tutup.

Andri berteriak memanggil, mengajakku pulang karena matahari sudah terbenam. Bukit-bukit yang berbaris seperti raksasa-raksasa yang sedang menunjukkan kekuasaan. Angin laut semakin terasa dingin menerpa wajah ketika aku dan Andri beranjak menginggalkan tepian pantai. Sorot lampu yang berasal dari lampu depan sepeda motor menerangi jalanan beraspal kasar, gigi rendah terpaksa dipakai karena jalanan yang cukup curam dan sempit. Sesampainya di atas bukit, kami memutuskan untuk sejenak beristirahat dan memutuskan untuk menjamak sholat maghrib pada waktu isya nanti. Beruntung ada warung yang masih buka, aku memesan mie rebus dengan kopi hitam.

Perahu-perahu nelayan nampak dari kejauhan, lampu-lampu yang berasal dari setiap perahu berpendar seperti bintik-bintik bintang di langit luas. Angin laut menerpa wajah, seperti berbisik tentang cerita masa lalu ketika Sang Panglima perang menunggu kekasih pujaan hatinya.

Tinggalkan komentar