Semarang: Dari Eksotisme Lawang Sewu Sampai Desahan Di Losmen Murah #3

Lanjutan dari bagian kedua.

Karena sedang dalam perjalanan, kami memutuskan untuk menggabungkan sholat maghrib dan sholat isya dengan melaksanakan sholat isya diwaktu maghrib. Aku menikmati enaknya menjadi orang islam dengan berbagai macam kemudahan. Sepulang dari Kota Lama, kami hanya menghabiskan waktu untuk bersantai di losmen. Beberapa orang kadang terlihat sedang duduk-duduk menikmati siaran televisi di ruang tamu lantai bawah, tak begitu jauh dari tempat kasir.

Aaf mengeluh sakit perut, mungkin karena siang tadi makan kedondong yang hanya dicocol dengan garam dan cabe rawit yang kami beli di Pasar Johar. Entah sudah berapa kali dia bolak-balik ke kamar mandi. Sampai keesokan harinya, dia bilang tidak bisa tidur nyenyak karena harus terus bolak-balik ke kamar mandi. Sebelum tidur memang suhu badannya mendadak panas, aku bahkan sempat khawatir kalau sampai dia sakit parah. Lah wong lagi liburan masa mau sakit? mana jauh dari rumah lagi. Tapi beruntung, sepertinya itu hanya gejala gara-gara makan kedondong dengan garam dan cabe rawit.

Baca lebih lanjut

Semarang: Dari Eksotisme Lawang Sewu Sampai Desahan Di Losmen Murah #2

Lanjutan dari bagian pertama.

Shalat jum’at akan segera dimulai ketika kami berdua turun dari taksi yang kami naiki, kami turun tak jauh dari pintu utama Masjid Agung Kauman yang lokasinya persis berada di depan Pasar Johar. Beberapa orang masih terlihat berleha-leha sambil sesekali mengusap keringat karena udara Semarang yang memang panas. Keramaian di Pasar Johar bersahutan dengan suara tahriman dari pengeras suara masjid.

Kami memutuskan untuk tinggal di sebuah losmen sederhana dengan harga per-malam 60 ribu rupiah saja, dengan fasilitas kamar mandi berada di luar dan kipas angin yang berderik cukup kencang. Ada sofa yang salah satu dudukannya jeblos, tepat di atasnya menggantung kipas angin besar seperti yang terdapat pada masjid-masjid. Lokasi losmen yang kami tempati sangat strategis, karena hanya berjarak beberapa meter saja dari Masjid Agung Kauman. Kami menempati kamar nomor 10 dengan dua kasur ukuran kecil dan lantai ubin yang sepertinya jarang sekali disentuh kain pel. Kamar tempat kami tinggal berada di ujung lantai dua losmen. Sepintas tidak ada yang tidak normal, dan semuaya seakan baik-baik saja. Sampai kemudian ada suatu peristiwa yang mungkin akan sulit untuk dilupakan.

Baca lebih lanjut

Barisan Pantai Kebumen

Sore sudah menyapa ketika aku dan Andri beranjak dari rumah yang aku tempati selama di Kebumen tak jauh dari Rumah Sakit Purbowangi, Gombong. Truk-truk besar masih banyak yang melewati jalur lintas selatan yang menghubungkan antara Banyumas, Cilacap, Kebumen, Purworejo dan terus ke timur menuju Jogja. Mobil-mobil yang melintas masih banyak didominasi oleh kendaraan pribadi dan truk-truk ukuran besar yang membawa banyak muatan. Sesekali bus-bus melintas dengan kecepatan tinggi, sedikit miring ketika melewati jembatan tepat sebelum belokan menuju rumah Andri, jalan yang sama yang bisa dilalui untuk sampai ke Waduk Sempor, sebuah bendungan raksasa yang menjadi penyuplai air bagi pertanian warga di sekelilingnya.

Tujuan kami adalah Pantai Logending, sekitar 58 km dari Kota Kebumen, atau sekitar 26 km dari Gombong. Pantai Logending menyimpang mitos yang erat kaitannya dengan Nyi Roro Kidul, legenda ratu pantai selatan. Konon di Pantai Logending terdapat batu karang yang menjadi pintu gerbang Nyi Roro Kidul. Pantai Logending berada pada sisi selatan pulau jawa, sehingga dari sini dapat terlihat jelas pemandangan yang langsung menuju laut lepas Samudera Hindia. Dari Gombong, kami menggunakan sepeda motor menyusuri Jalan Raya Gombong yang menghubungkan Gombong dengan Kabupaten Cilacap. Melewati Rumah Sakit Purbowangi dan terus ke arah barat dan kemudian berbelok kiri tak jauh dari jembatan, melintasi Jalan Raya Gombong-Jatijajar.

Baca lebih lanjut

Mencumbu Burangrang

Minggu, 14 Oktober 2012 rasa gundah dan rindu akan petualangan mengantarkan saya untuk menjelajahi sisi lain dari Kota Kembang. Sebuah rencana yang tiba-tiba mengantarkan saya menggapai tangan Gunung Burangrang, sebuah gunung dengan ketinggian 2.057 meter. Tujuan saya sebetulnya bukan untuk naik ke Burangrang karena kondisi saya sendirian, melainkan ke sebuah Danau yang merupakan kaldera dari letusan Gunung Sunda 2-3 juta tahun yang lalu, terletak diantara Gunung Burangrang, Gunung Tangkuban Perahu dan Gunung Sunda.

Sebuah perjalanan yang butuh sedikit sisi kegilaanpun dimulai, dengan hanya berbekal sarapan pagi dan sebotol air mineral ukuran 1,5 liter saya berangkat dengan berjalan kaki dari Bumi Sariwangi tempat saya tinggal. Menyusuri sepanjang Jalan Sariwangi dan belok kanan menuju Jalan Cibeureum-Alun-alun, jalanan yang hanya selebar kurang lebih 5 meter ini cukup jarang dilalui kendaraan. Tidak ada kemacetan ataupun antrian panjang kendaraan seperti di kawasan Bandung bagian Kota. Rumah-rumah penduduk nampak sederhana, jauh dari kesan mewah. Beberapa warung bakso nampak lebih banyak daripada warung nasi, entahlah saya sedikit heran dengan kondisi ini, hanya beberapa saya jumpai warung yang menyediakan Nasi, selebihnya adalah warung bakso, mie ayam dan beberapa warung kecil yang menjajakan makanan untuk anak-anak. Stand-stand counter yang menjual pulsapun cukup banyak tersedia disepanjang Jalan Cihanjuang.

Baca lebih lanjut

Banten, Im Coming

Longweekend kali ini saya berencana berpetualang di daerah Banten, mengunjungi kawan saya waktu di pesantren yang sekarang masih menjadi santri di sebuah pondok pesantren disana.
Perjalanan insya alloh berawal dari bekasi kemudian menggunakan bus ke terminal Serang, dari sini saya akan mengambil rute jalan kaki menyusuri jalanan kota Serang, Banten.
Perjalanan berikutnya adalah dari pondok pesantren menuju pantai carita, sebuah pantai eksotis di kawasan pesisir Banten.
Semoga planning kali ini akan berjalan sesuai rencana, aamiin.